Jayapura (4/6) - Acute Flaccid Paralysis (AFP) atau biasa dikenal dengan lumpuh layuh merupakan kelumpuhan yang sifatnya lemas, terjadi mendadak dalam 1 - 14 hari dan bukan disebabkan ruda paksa/ trauma yang dialami oleh anak usia <15 tahun. Salah satu penyebab AFP adalah virus polio. AFP dapat ditularkan dari feses penderita yang mengkontaminasi makanan dan minuman yang dikonsumsi calon penderita. Pencegahan AFP diantaranya dengan memberikan imunisasi polio secara rutin sesuai jadwal, menjaga kebersihan lingkungan, dan membiasakan mencuci tangan pakai sabun sebelum dan sesudah makan.
Surveilans AFP adalah pengamatan yang dilakukan terhadap semua kasus lumpuh layuh akut (AFP) pada anak usia <15 tahun yang merupakan kelompok yang rentan terhadap penyakit polio. Sejak tahun 2004 untuk lebih memanfaatkan jejaringan kerja surveilans AFP yang sudah berfungsi baik, dan sesuai dengan anjuran WHO, penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) diintegrasikan kedalam sistem surveilans AFP. Sasaran pelaksanaan surveilans AFP dan PD3I adalah:
Semua anak berusia kurang dari 15 tahun dengan kelumpuhan yang sifatnya flaccid (Iayuh), terjadi secara akut (mendadak), bukan disebabkan oleh ruda paksa.
Yang dimaksud kelumpuhan terjadi secara akut adalah perkembangan kelumpuhan yang berlangsung cepat (rapid progressive) antara 1 - 14 hari sejak terjadinya gejala awal (rasa nyeri, kesemutan, rasa tebal/kebas) sampai kelumpuhan maksimal.
Yang dimaksud kelumpuhan flaccid: kelumpuhan bersifat lunglai, lemas atau layuh bukan kaku, atau terjadi penurunan tonus otot.
Dalam hal ada keraguan dalam menentukan sifat kelumpuhan apakah akut dan flaccid, atau ada hubungannya dengan ruda paksa/kecelakaan, laporkanlah kasus tersebut sebagai kasus AFP.
Semua penderita berusia 15 tahun atau lebih yang diduga kuat sebagai kasus poliomyelitis oleh dokter, dilakukan tata laksana seperti kasus AFP.
Upaya pemberantasaan polio dilakukan melalui 4 strategi yaitu imunisasi rutin, imunisasi tambahan (Pekan Imunisasi Nasional)/PIN, surveilans AFP, dan pengamanan VPL di laboratorium. Dengan intensifnya program imunisasi polio, maka kasus polio makin jarang ditemukan. Berdasarkan rekomendasi WHO (1995) dilakukan kegiatan surveilans AFP yaitu menjaring semua kasus dengan gejala mirip polio yaitu lumpuh layuh mendadak (Acute Flaccid Paralysis/AFP), untuk membuktikan masih terdapat kasus polio atau tidak di populasi.
Untuk membuktikan apakah kelumpuhan disebabkan oleh polio atau bukan, dilakukan pemeriksaan tinja penderita di laboratorium polio nasional yang telah ditentukan. Namun apabila spesimen tinja penderita tidak bisa diambil atau tidak memenuhi syarat (tidak adekuat), maka perlu dilakukan pemeriksaan klinis apakah masih terdapat sisa kelumpuhan setelah 60 hari kelumpuhan. Oleh sebab itu bagi penderita dengan spesimen tidak adekuat tersebut dilakukan pemeriksaan residual paralisis setelah 60 hari kelumpuhan, bukan 60 hari sejak ditemukan.
Membangun koordinasi antara petugas surveilans guna meningkatkan surveilans aktif dan pasif terhadap semua kasus AFP pada anak usia <15 tahun di semua layanan kesehatan, sehingga dapat memantau secara berkala trend dan karakteristik epidemiologi dalam implementasi surveilans kasus AFP dan PD3I. Kasus AFP yang ditemukan melalui koordinasi yang adequate antara petugas surveilans dapat segera ditindaklanjuti sesuai prosedur yang telah ditetapkan.
Penulis: Mina Sipayung, SKM., M.Kes.
Berita ini disiarkan oleh Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas I Jayapura. Untuk informasi lebih lanjut dapat menghubungi call center 0967-535553, WhatsApp 081248484646, dan alamat email kkpjayapurapapua@gmail.com.
Kepala Balai Kekarantinaan Kesehatan Kelas I Jayapura
dr. Bambang Budiman